Senin, 20 April 2009

Advokat Pro Deo & Korupsi

BUKAN seperti yang terjadi dalam praktek, secara teoritis filosofis sebenarnya advokat/pengacara yang membela klien tak mampu dengan prodeo, sebaliknya advokat yang membela orang kaya atau pejabat berkuasa dalam kasus-kasus korupsi; adalah sama-sama sangat mulia. Semulia profesi advokat yang sering dipersepsi sebagai officium nobille.

Sebab itu semestinya tidak ada hal yang dikotomis menyangkut keduanya bila disadari bahwa pro deo dalam istilah Belanda atau pro bono publico/ latin; yang dilaksanakan berdasarkan hak untuk mendapatkan bantuan hukum/right to legal counsel, merupakan pelaksanaan asas persamaan di depan hukum/equality before the law dan keadilan untuk semua orang/justice for all. Dimana berarti, orang kaya atau orang berpangkat pun sama-sama berhak dengan orang tak punya, untuk mendapatkan bantuan hukum.

Bedanya karena kemampuan ekonomi; yang satu “diupayakan” gratis, yang lain bayar. Antara lain juga karena dalam perspektif HAM, istilah “semua orang” berarti dengan tidak membedakan asal usul, keturunan, kedudukan sosial (kaya miskin, pejabat atau bukan) ideologi, keyakinan politik, ras, agama dan kepercayaan dan lain-lain yang membuat manusia tidak equal.

Semua yang indah di atas tertera dalam berbagai konstitusi, perundang-undangan nasional maupun internasional, bahkan juga tersebar dimaktubkan di dalam kode etik berbagai organisasi advokat kita. Umpamanya Pasal 27 UUD/1945 “setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 35 UU Kekuasaan Kehakiman No.14/1970 “setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”. Pasal 54 KUHAP UU No.8/1981 “guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa behak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan….” Dalam aturan internasional paling tidak hak persamaan di depan hukum dan hak didampingi advokat diatur dalam: Pasal 6 dan 7 Universal Declaration of Human Rights serta Pasal 16 dan 20 International Covenant on Civil and Political Rights 1966. Kita kutipkan Pasal 26 ”all persons are equal before the law and are entitled without any discrimination to the equal protection of law. In this respect, the law shall prohibit any discrimination and guarantee to all persons, equal and effective protection agains discrimination on any ground such as race, colour; sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status”. Selaras dengan hal-hal diatas, dalam Kode Etik Advokat Indonesia, ketentuan tentang non diskriminasi pemberian bantuan hukum ini diatur dalam Pasal 1 angka 1.2 dalam bab tentang Kepribadian Advokat.

Membela Kepentingan Hukum
Soal pengertian membela, juga menjadi pangkal masalah. Bukan hanya masyarakat, bahkan banyak advokat yang tidak memahami bahwa sebuah pembelaan hanya boleh dilakukan terhadap “kepentingan hukum” klien, seperti antara lain selalu tercantum dalam surat kuasa. Jadi bukan membela “kesalahan atau kelalaian” nya. Tentunya ada beda yang tajam antara membela kepentingan hukum dengan membela kesalahan.

Dalam membela kepentingan hukum kaum papa, berarti ada unsur pemberdayaan menghadapi tekanan struktural yang membelenggu. Misalnya undang-undang yang berat sebelah, memihak ke yang kaya lagi kuat. Atau kekuasaan publik yang menindas, umpamanya pemerintah kota yang mewajibkan pengusaha kecil memakai gas elpiji dan meninggalkan kompor minyak tanah. Sedangkan dalam membela kepentingan hukum klien pada kasus korupsi, berarti minimal advokat meluruskan proses hukum acara, antara lain agar tidak terjadi pemerasan terhadap orang-orang “yang tersangkut perkara” (dalam tanda kutip istilah dalam Pasal 35 UU 14/1970). “Yang tersangkut perkara” berarti juga saksi atau para saksi yang dalam pengalaman advokasi penulis; bahkan lebih hancur, tertekan dan menderita sebagai sapi perah penyidik (ATM) ketimbang tersangka, karena berada dalam situasi tertekan, takut ditingkatkan statusnya menjadi tersangka.

Apabila advokat tidak turun tangan memikul tanggung jawab untuk mendampingi orang-orang yang tersangkut perkara korupsi, yang akan terjadi pastilah lebih buruk. Justru marak, meruyak dan menyebar korupsi dalam penegakan hukum, oleh penegak hukum. Uang rakyat (yang semestinya terutama diperuntukkan untuk “mengentaskan” kemiskinan orang tak mampu) dihamburkan sebagai setoran bagi pemerasan penyidik. Dunia akademis pun enggan (atau takut?) menyorot prilaku jaksa dalam penyidikan. Ajaran bahwa yang patut menjadi kajian akademis adalah jurisprudensi, semakin menjadi acuan para peneliti.
Pada bagian lain, masyarakat bermimpi kemangkusan kontrol dari berbagai komisi (komisi kejaksaan, yudisial, dan lain-lain) yang marak dibangun di era reformasi. Efektifkah?

Jelas tidak. Karena aneka komisi baru dapat bekerja apabila dapat laporan atau paling keras setelah menyelidik dulu ke bawah, tentunya dengan anggaran lagi yang besar. Sedangkan advokat paling tidak mengontrol, mengoreksi, membanding, menuntut/praperadilan langsung melalui perkara yang didampinginya.

Semua hal-hal diatas, termasuk banyaknya lahir lembaga-lembaga yang tidak perlu kalau advokat kuat dan berfungsi, semakin menampakkan gejala nyata dari sinyalemen Roscoe Pound sebagaimana dikutip oleh Henry J. Abraham (1993), bahwa masalah hukum di negara-negara berkembang terutama di Indonesia, bukan pada hukum itu sendiri, tetapi pada kualitas manusia yang menjalankannya. Padahal setidaknya kita selalu mendambakan sesuatu yang multum in parvo: tinggi dalam mutu, sedikit dalam jumlah. (***)

Minggu, 19 April 2009

Mengapa Harus Menjadi Pengacara?

Secara ideologis, satu fakta penting yang harus dikemukakan terlebih dahulu sebelum masuk kepada hal-hal teknis di atas adalah: hampir tidak ada Pengacara (lawyer) besar Indonesia yang dilahirkan oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH-UNAND). Meskipun ada klaim Unand sebagai Universitas tertua luar pulau Jawa. Di Padang pun, Pengacara-Pengacara muda yang berkantor sendiri, kebanyakan adalah alumni perguruan tinggi swasta: Universitas Bung Hatta, Muhammadiyah, Ekasakti, bahkan Taman Siswa.
Hal ini mungkin karena alumni UNAND sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN), “merasa GR” banyak alternatif bekerja selain sebagai Pengacara. Serta juga kultur akademis yang terlalu pegawai negeri dan karyawan oriented. Suasana belajar mengajar yang memuliakan Indeks Prestasi (IP) tinggi (tapi diraih hanya dengan kuat menghapal catatan Dosen/bukan menganalisa). Kurikulum yang terlalu sarat (over load) sebagaimana juga dialami oleh PT dan PTS lain, merupakan sebab yang umum, mengapa banyak alumni FH di Indonesia, tidak menjadikan Pengacara sebagai orientasi utama profesinya. Alumni merasa tidak “PD” untuk mulai bekerja mandiri sebagai lawyer.
Artinya juga, bila sistem dan metode belajar mengajar FH kita benar mengasah logika (karena hukum/UU segala tingkatan tak kan bisa dihapal saking banyaknya), tentu tidak akan ramai alumni FH melamar setiap test PNS atau karyawan swasta (termasuk berbondong-bondong ke Mentawai baru-baru ini).
Lagipula, kalau kita mengukur dari kriteria umum cita-cita orang bekerja, kerja apa saja, yang paling tidak ada 3 motif utama: pertama, ingin kaya; kedua, ingin terhormat; ketiga, ingin berkuasa; maka: Justru ketiga motif ini sangat mungkin diraih dalam waktu singkat, dalam usia muda bila profesi seorang SH adalah Pengacara, karena :
Pertama, Pengacara bisa kaya raya secara halal umpamanya dengan mendapat prosentase (yang diperjanjikan sebelumnya) dari properti (tanah, gedung, rumah, saham, dan lain-lain yang berhasil dijual/dimenangkannya). Kalau PNS/militer/semi militer (Jaksa, Hakim, Polisi) makan gaji. Maka bila ingin kaya raya, sulit untuk meghindarkan suap. Mengapa? Mereka menurut UU tak boleh berbisnis, menanam saham, jadi konsultan dan atau minta fee dari perkara yang mereka tangani. Serta tidak boleh juga jadi anggota legislatif dan lain-lain sebagainya. Sebaliknya, Pengacara tidak ada larangan, bahkan sangat baik bila mejadi pemegang saham pada 1, 2 atau 20 buah pun perusahaan bila mampu (tidak ada batasan).
Kedua, Pengacara bisa terhormat/terkenal di usia muda (tanpa harus beruban terlebih dahulu), bila bisa menjalankan profesinya dengan biasa-biasa saja, apalagi bila baik. Bisa menjalankan amanah klien untuk penegakan hukum, bisa menjaga citra dan perbuatan ditengah-tengah masyarakat. Seorang Pengacara berusia 33 tahun saja, bisa di dudukkan orang sejajar pada acara-acara resmi dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Propinsi dan Ketua Pengadilan Tinggi (Ketua PT), karena yang bersangkutan adalah Sekum IKADIN di Kota yang sama, dengan pejabat-pejabat itu bertugas. `
Ditengah publik (bukan dikalangan aparat), manakah yang lebih terkenal contohnya seorang Juan Felix Tampubolon, seorang Ruhut Sitompul atau seorang Todung Mulya Lubis, dengan Ketua PT DKI (sayapun tak tahu orang dan namanya). Atau dengan sekalipun Jaksa Agung RI MA Rahman atau Ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan?.
Ketiga, mungkin soal lebih berkuasa; Jaksa Agung (Jakgung) dan Ketua MA lebih dibandingkan dengan nama Pengacara-pengacara di atas. Akan tetapi yang dapat jadi Jakgung dan Ketua MA hanya 1 (satu) dari seribu Hakim atau Jaksa seluruh Indonesia. Itupun pasti sudah sangat senior alias tua.
Perlu pula digaris bawahi bahwa Pengacara lebih berpeluang karena kelincahan yang melekat pada profesi ini (jadi kalau ada yang memble itu karena utamanya faktor personality), untuk melakukan bukan saja advokasi dalam arti sempit, dalam arti luas, tetapi reformasi hukum melalui kebebasan menulis, berdiskusi, berseminar, mendorong perubahan dan atau revisi perundang-undangan baik secara individual, organisasi profesi maupun LSM-LSM yang mereka bentuk (IKADIN, AAI, YLBHI, PBHI, dan lain-lain). Aktifitas-aktifitas mana kalau bukan tabu, adalah tidak lazim bagi profesi penegak hukum lain termasuk Notaris, kecuali paling-paling hanya boleh bagi Kajari/ti, PN/T.
Karena itu banyaknya sorotan tajam, kritikan, cemoohan, atau sebenarnya mungkin kecemburuan orang dan profesi lain terhadap profesi ini, termasuk (apresiasi saya) kecemburuan Ibu DR. Harkristuti Harkrisnowo Dosen Hukum Pidana UI (yang baru-baru ini berbicara dalam sebuah acara yang sebenarnya bertemakan Kurikulum, namun terlalu berkelok dalam setiap bait ceramahnya menyindir dan menembak profesi Pengacara), tidak mengurangi, bahkan justru seharusnya, membangkitkan gairah Sarjana Hukum (SH) untuk menjadi Pengacara. Bukankah kecemburuan selain karena cinta juga bukan tak mungkin karena tak percaya diri?***

IDIOLOGI NEGARA

Sejiwa dengan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka maksud filosofis pendirian negara kita adalah “memajukan kesejahteraan umum”. Hal itu termaktub dalam mukaddimah UUD/45 aline ke 4 , bahagian yang kita usahakan abadi dari hukum dasar yang tertinggi itu. Di dalam alinea ini, secara agung juga tertera idiologi negara dan pandangan hidup bangsa: Pancasila.

Sewaktu saat ini negara sebagai satu organisasi besar berjalan dengan pondasi ideologi Pancasila yang dianut secara malu-malu (takut dicap orde baru), apa yang dapat kita harap dari kenyataan itu?. BP-7 dibubarkan. Lewat apa yang konon dipuja sebagai reformasi hukum, dengan TAP MPR No. XVIII/MPR/1998, P-4 dicabut. Sejak itu, secara “reformis” mayoritas kita berbangga, bahwa kita adalah pemenang penakluk Orde Baru (sebagaimana Orba juga bangga telah menaklukkan dan “merajam” Orla). Pancasila setali tiga uang atau identik dengan Orba.

Organisasi tanpa ideologi, hanya dapat diterima untuk organisasi setingkat kelurahan, kelompencapir, selaju sampan atau perlombaan pacu karung. Untuk konteks negara, cerita negara tanpa idiologi hanya akan melahirkan situasi disorientasi . Salah kaprah dan salah kiprah (mismanagemen). Secara strategis, niscaya hal itu akan membuat penyelenggara negara menelorkan kebijakan-kebijakan distortif manipulatif melenceng dari patron konstitusional kebijakan itu sendiri. Akan hadir situasi dimana misi positif ditunggangi oleh niat negatif. Misalnya, pada misi mencerdaskan kehidupan bangsa tertompang praktek kapitalistik (kurikulum over laud, cetak mencetak buku “sampah”, gonta-ganti nama departemen untuk proyek kop surat dll.). Pada soal mensejahterakan rakyat (kesehatan, klinik rumah sakit) tak terhindar tertanam kejahatan kemanusiaan ini. Negeri sehina kita (birokrasi berdarah dingin dan utang salah satu yang terbesar di dunia, disamping pelacur terbesar jumlah nya di Malaysia) adalah negeri termahal harga obatnya.

Ketika kita trauma kepada pemerintahan yang militeristik dengan sebuntal eksesnya, kita gapai cinta sosok civil society atau masyarakat madani. Berkat background ideologi yang tidak terhayati, bahkan cendrung dibenci, kita lemah dalam organisasi. Keterusannya adalah, strategi keliru negara dalam menggapai cinta civil society ini. Pemahaman dan idealisme freedom for expression diyakini sebagai : koran (pers) bebas sebebas-bebasnya, kebebasan berorganisasi berserikat dan berkumpul (membuat partai) tentu juga semerdeka-merdekanya (walau piranti lunak dan keras banyak diutangi asing). Kita lupa bahwa kalau suka meniru-niru tanpa selektifitas akan “tertiru muka beruk”. Kita lupa bahwa tentara dan polisi yang masih berpolitik, karena memang tidak dilarang konstitusi (atau setidak-tidaknya kata Gus Dur), serta mayoritas bangsa kita yang berlogika rendah (kemampuan memilih alternatif) berkat pendidikan yang sarat makna eksploitasi kapitalisme, tidak siap menghadapi itu (seperti tidak siapnya kita menghadapi globalisasi). Kita membusung-busungkan dada di negeri sendiri mengatakan kita sanggup, tetapi dalam pergaulan internasional kita jadi bangsa yang “cancai”. Malu sebagai orang Indonesia yang diberi karunia alam superkaya dan negeri indah permai tak bertara , tapi berbunuh-bunuhan dan menjadikan agama serta perbedaan etnik sebagai faktor perpisahan.

Bagaimana kita memahami semua ini?. Negara kesejahteraan yang menempatkan cita-cita tertinggi keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat (bukan hanya bagi para koruptor), hanya dapat di bangun dengan background idiologi negara yang jelas. Kabur idiologi, kacau organisasi, bagalasau strategi dan lemah kemampuan untuk melakukan pilihan-pilihan strategis.

Sabtu, 18 April 2009

Pengacara Tanpa Jawaban

Sejak politik penegakan hukum kita menjadikan pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi salah satu benchmark aktifitas penegak hukum senafas dengan pemberantasan terorisme dan illegal logging, sering kali terjadi di awal persidangan, terhadap suatu dakwaan jaksa penuntut umum, pengacara yang menjadi penasehat hukum memberi advis kepada kliennya, agar dakwaan tidak usah dieksepsi (ditangkis atau dijawab). Kalau mau dieksepsi juga, lisan saja.

Sipengacara biasanya mengemukakan dua hal sebagai alasan, pertama, “…toh eksepsi ini hanyalah formalitas saja, tidak akan dikabulkan hakim”. Kedua, katanya, “…nanti masalah kita bertambah berat, karena jaksa akan marah atau tersinggung!!”.

Biasanya yang memberi advis begini bukan pengacara yang independen, akan tetapi pengacara atas penunjukan oknum jaksa penyidik yang kurang pede. Karena bagi penyidik yang ta’at asas, nilai, norma dan peraturan; siapapun— kantor hukum manapun—yang menjadi penasehat hukum bagi tersangka yang akan diperiksanya, semasyhur apapun; tidak akan pernah membuatnya cemas, grogi apalagi takut.

Justru untuk mencari kebenaran materil, malahan bergairah, enjoy dan bersyukur karena kerjanya ada yang mengawasi dan mengoreksi, untuk hasil kerja yang lebih bermutu, demi kebenaran materil. Selain karena aparat tipe ini mengawali pemeriksaan dengan bukti-bukti permulaaan yang cukup, seperti halnya kalau menangkap, menahan, menyita, menggeledah dan tindakan-tindakan pro justitia lainnya, adalah juga berdasar fakta faktuil dan perundang-undangan yang kuat. Bukan karena tekanan massa, apalagi pesanan.

Penyidik yang pede, tidak akan bersikeras dan bermuslihat menunjuk atau menyuruh ganti penasehat hukum bagi orang kaya, pejabat-pejabat dan pengusaha, kecuali kalau ada maunya, misalnya itu tadi, ada pesanan atau mau uang, dan lain sebagainya. Mengingat gejala ini dalam praktek banyak terjadi menjelang pilkada yang meningkatkan tensi politik di daerah-daerah. Untuk membunuh karir politik lawan-lawannya, seseorang atau sekelompok politikus akan memakai pisau hukum, khususnya pidana korupsi untuk strategi character assasination.

Lebih jauh penyidik yang pede tidak akan pernah membuat dakwaan asal naik (P 21) sesuai perintah, hasil kerjasama dengan mitra pengacara yang lemah, kemudian berharap hakim akan terpojok dengan opini yang telah dia bangun sejak awal, dengan cara mempublikasi hasil bahkan detail penyidikan, sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum acara, karena melanggar prinsip penyidikan yang tidak terbuka untuk umum (non open baar orde).

Bias bantuan hukum prodeo
Sejatinya praktek penunjukan pengacara oleh penyidik, juga merupakan bias dari dikenalnya bantuan hukum secara prodeo (gratis, cuma-cuma) untuk masyarakat tak mampu, yang kemudian menerabas pula kepada orang-orang yang mampu. Gratis disini maksudnya adalah biaya penasehat hukum ditanggung oleh negara. Tidak jelas apakah bantuan hukum prodeo ini masih ada dalam praktek peradilan. Tetapi yang pasti penunjukan pengacara oleh penyidik dalam kasus-kasus bukan orang miskin, masih berlangsung massif, masal dan seakan hal biasa saja, kalau bukan malah wajib.

Apalagi dalam kasus-kasus korupsi yang intensitasnya penanganannya terkesan semakin naik sejak politik hukum era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terlihat amat kuratif, keras di penindakan (tetapi lemah dalam penguatan sistem), terhadap pelaku korupsi. Itu di back-up dengan keluarnya Inpres No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang mensenafaskan korupsi dengan terorisme.

Tak pelak target-target dibebankan kepada penyidik. Aparat berubah menjadi oknum, ketika bekerja dibawah tekanan tinggi. Yang dikejar adalah berapa orang yang bisa ditahan. Berapa lembaga yang bisa digeledah. Berapa dokumen atau barang orang yang bisa disita, tanpa izin pengadilan sekalipun, atau izinnya menyusul belakangan. Dalam konteks ini, sebenarnya rezim meskipun nampaknya mendamba tipe hukum yang responsif, karena target politik yang tinggi, telah terjerumus kembali ke dalam tipe hukum yang represip (Phillipe Nonet dan Philip Selznich;1978).

Hal ini didukung pula oleh adanya tafsiran yang keliru terhadap ketentuan hukum acara yang menyatakan bahwa “dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak punya penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan pada proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”(vide Pasal 56 ayat 1 KUHAP)

Eksepsi sebagai pondasi pembelaan
Kembali ke topik apakah perlu sebuah dakwaan dieksepsi atau tidak, maka kalau orientasinya adalah advokasi (pembelaan) yang benar, atau benar-benar pembelaan; maka jelas eksepsi yang diatur antara lain dalam Pasal 156 KUHAP, adalah mutlak sebagai pondasi pembelaan, semutlaknya dakwaan sebagai sebuah pondasi bagi penuntutan suatu perkara.

Dalam konteks ini pula, selain karena dia merupakan hak, eksepsi juga merupakan semacam opening statement, seperti halnya dalam perkara pidana di Amerika. Eksepsi digunakan sebagai awal dari penjelasan betapa ketidakseimbangan telah terjadi dalam pemeriksaan pendahuluan (Luhut MP Pangaribuan:2002).

Lebih jauh dari itu, menurut saya sesuai dengan prinsip sidang terbuka untuk umum, eksepsi juga merupakan wadah untuk mempublish sejak awal umpamanya bahwa, suatu kebijakan atau program tidak layak dikasuskan dengan bidikan pasal-pasal korupsi karena bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi merupakan masalah administrasi yang sanksinya juga semestinya administratif, atau masalah perdata yang seharusnya digugat keperadilan perdata pula.

Sesuai asas due process of law dan asas impartialitas, publikasi ini penting untuk mengimbangi opini masyarakat yang sudah terbangun sejak awal berkat pemberitaan media massa, bahwa tersangka/terdakwa yang telah berkali-kali diperiksa penyidik dan ditahan, pasti memang bersalah. Apalagi kalau persnya sejak awal tidak cover both sides, berimbang, hanya mungutip pernyataan jaksa penyidik.

Dalam hal ini karena hakim bukanlah menara gading, maka opini publik amat penting dijaga, agar jangan terjadi trial by the pers yang akan merangsang perbuatan atau sekurangnya pemikiran eigenrichting, main hakim sendiri di kalangan masyarakat, yang dapat memaksa hakim yang di pengadilan memvonis bersalah, meskipun berbeda dengan keyakinannya. Karena takut dicap tidak reformis, atau bahasa tekstualnya: “tidak mampu menangkap rasa keadilan masyarakat”.

Hal ini mungkin juga terjadi karena andil kesalahan (kelalaian) sipengacara yang kadang tak mau menjelaskan. Selain mungkin karena belum terlalu mengerti masalahnya karena bukti-bukti semua sudah disita penyidik. Juga mungkin karena takut kliennya ditahan, sekalipun ada media praperadilan yang kalau dimaksimalkan pendayagunaannya, termasuk sebagai alat kampanye, bahwa penahanan adalah zalim, sewenang-wenang dan tak berdasar, tentunya penyidik tidak akan sembarangan menahan orang. Maka akan berlakulah pepatah Melayu, “tidak akan ada asap kalau tidak ada api”.

Memang, untuk sanggup membuat eksepsi sekaligus mempublikasikannya, penasehat hukum mesti melakukan legal due dilligence, alias telaah hukum yang mendalam. Selain harus siap untuk cuek dihantam dengan penetapan hakim bahwa eksepsi begitu “telah masuk kedalam pokok perkara”. Karena memang dalam konteks eksepsi adalah pondasi pembelaan, diterima atau tidaknya eksepsi oleh hakim, bukanlah tujuan.

Yang menjadi tujuan adalah publikasi disidang pengadilan dengan memanfaatkan asas sidang terbuka untuk umum, bahwa misalnya telah terjadi kekeliruan jaksa sejak awal penyelidikan dan penyidikan dalam mengangkat kasus ini menjadi pidana korupsi, yang sesuai bukti-bukti sebenarnya adalah masalah administratif atau perdata di ranah administrasi negara yang dipolitisir dan dikriminalisasi. Kasus begini banyak terjadi menjelang pilkada gubernur atau bupati dan walikota.

Penentuan honorarium bagi pengacara juga harus benar, harus dibuat dengan surat kontrak, karena ini berdampak serius terhadap kualitas advokasinya. Sama sekali tidak boleh hanya dengan kiat meretensi/menahan surat-surat dan dokumen klien, sehingga sipengacara justru khawatir kalau eksepsinya berhasil, karena berarti perkara selesai. Sekhawatirnya sang pengacara pada tingkat penyidikan perkara akan di SP3 kan, dihentikan.

Bayangkan! Masyarakat pencari keadilan harus hati-hati dengan gejala akut ini, karena ada pepatah yang mengatakan, timeo danaos et dona ferrentes, saya curiga akan orang yang datang membawa hadiah. Mestinya tersangka menolak “hadiah” penasehat hukum yang ditunjuk oleh penyidik, kecuali kalau dia tidak mampu***