Senin, 20 April 2009

Advokat Pro Deo & Korupsi

BUKAN seperti yang terjadi dalam praktek, secara teoritis filosofis sebenarnya advokat/pengacara yang membela klien tak mampu dengan prodeo, sebaliknya advokat yang membela orang kaya atau pejabat berkuasa dalam kasus-kasus korupsi; adalah sama-sama sangat mulia. Semulia profesi advokat yang sering dipersepsi sebagai officium nobille.

Sebab itu semestinya tidak ada hal yang dikotomis menyangkut keduanya bila disadari bahwa pro deo dalam istilah Belanda atau pro bono publico/ latin; yang dilaksanakan berdasarkan hak untuk mendapatkan bantuan hukum/right to legal counsel, merupakan pelaksanaan asas persamaan di depan hukum/equality before the law dan keadilan untuk semua orang/justice for all. Dimana berarti, orang kaya atau orang berpangkat pun sama-sama berhak dengan orang tak punya, untuk mendapatkan bantuan hukum.

Bedanya karena kemampuan ekonomi; yang satu “diupayakan” gratis, yang lain bayar. Antara lain juga karena dalam perspektif HAM, istilah “semua orang” berarti dengan tidak membedakan asal usul, keturunan, kedudukan sosial (kaya miskin, pejabat atau bukan) ideologi, keyakinan politik, ras, agama dan kepercayaan dan lain-lain yang membuat manusia tidak equal.

Semua yang indah di atas tertera dalam berbagai konstitusi, perundang-undangan nasional maupun internasional, bahkan juga tersebar dimaktubkan di dalam kode etik berbagai organisasi advokat kita. Umpamanya Pasal 27 UUD/1945 “setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 35 UU Kekuasaan Kehakiman No.14/1970 “setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”. Pasal 54 KUHAP UU No.8/1981 “guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa behak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan….” Dalam aturan internasional paling tidak hak persamaan di depan hukum dan hak didampingi advokat diatur dalam: Pasal 6 dan 7 Universal Declaration of Human Rights serta Pasal 16 dan 20 International Covenant on Civil and Political Rights 1966. Kita kutipkan Pasal 26 ”all persons are equal before the law and are entitled without any discrimination to the equal protection of law. In this respect, the law shall prohibit any discrimination and guarantee to all persons, equal and effective protection agains discrimination on any ground such as race, colour; sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status”. Selaras dengan hal-hal diatas, dalam Kode Etik Advokat Indonesia, ketentuan tentang non diskriminasi pemberian bantuan hukum ini diatur dalam Pasal 1 angka 1.2 dalam bab tentang Kepribadian Advokat.

Membela Kepentingan Hukum
Soal pengertian membela, juga menjadi pangkal masalah. Bukan hanya masyarakat, bahkan banyak advokat yang tidak memahami bahwa sebuah pembelaan hanya boleh dilakukan terhadap “kepentingan hukum” klien, seperti antara lain selalu tercantum dalam surat kuasa. Jadi bukan membela “kesalahan atau kelalaian” nya. Tentunya ada beda yang tajam antara membela kepentingan hukum dengan membela kesalahan.

Dalam membela kepentingan hukum kaum papa, berarti ada unsur pemberdayaan menghadapi tekanan struktural yang membelenggu. Misalnya undang-undang yang berat sebelah, memihak ke yang kaya lagi kuat. Atau kekuasaan publik yang menindas, umpamanya pemerintah kota yang mewajibkan pengusaha kecil memakai gas elpiji dan meninggalkan kompor minyak tanah. Sedangkan dalam membela kepentingan hukum klien pada kasus korupsi, berarti minimal advokat meluruskan proses hukum acara, antara lain agar tidak terjadi pemerasan terhadap orang-orang “yang tersangkut perkara” (dalam tanda kutip istilah dalam Pasal 35 UU 14/1970). “Yang tersangkut perkara” berarti juga saksi atau para saksi yang dalam pengalaman advokasi penulis; bahkan lebih hancur, tertekan dan menderita sebagai sapi perah penyidik (ATM) ketimbang tersangka, karena berada dalam situasi tertekan, takut ditingkatkan statusnya menjadi tersangka.

Apabila advokat tidak turun tangan memikul tanggung jawab untuk mendampingi orang-orang yang tersangkut perkara korupsi, yang akan terjadi pastilah lebih buruk. Justru marak, meruyak dan menyebar korupsi dalam penegakan hukum, oleh penegak hukum. Uang rakyat (yang semestinya terutama diperuntukkan untuk “mengentaskan” kemiskinan orang tak mampu) dihamburkan sebagai setoran bagi pemerasan penyidik. Dunia akademis pun enggan (atau takut?) menyorot prilaku jaksa dalam penyidikan. Ajaran bahwa yang patut menjadi kajian akademis adalah jurisprudensi, semakin menjadi acuan para peneliti.
Pada bagian lain, masyarakat bermimpi kemangkusan kontrol dari berbagai komisi (komisi kejaksaan, yudisial, dan lain-lain) yang marak dibangun di era reformasi. Efektifkah?

Jelas tidak. Karena aneka komisi baru dapat bekerja apabila dapat laporan atau paling keras setelah menyelidik dulu ke bawah, tentunya dengan anggaran lagi yang besar. Sedangkan advokat paling tidak mengontrol, mengoreksi, membanding, menuntut/praperadilan langsung melalui perkara yang didampinginya.

Semua hal-hal diatas, termasuk banyaknya lahir lembaga-lembaga yang tidak perlu kalau advokat kuat dan berfungsi, semakin menampakkan gejala nyata dari sinyalemen Roscoe Pound sebagaimana dikutip oleh Henry J. Abraham (1993), bahwa masalah hukum di negara-negara berkembang terutama di Indonesia, bukan pada hukum itu sendiri, tetapi pada kualitas manusia yang menjalankannya. Padahal setidaknya kita selalu mendambakan sesuatu yang multum in parvo: tinggi dalam mutu, sedikit dalam jumlah. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar